Jendral Besar TNI (Purn) H. M. Soeharto
adalah presiden ke dua republik Indonesia yang berkuasa selama 32 Tahun, beliau
dikenal Sebagai Bapak Pembangunan Nasional dan masa pemerintahannya dikenal
dengan sebutan Orde baru, Berikut adalah Biografi beliau :
Jenderal Besar TNI (Purn.) H. M.
Soeharto, (O Jawa: Suharta; Jawa Latin: SuhartÃ¥; Hanacaraka:ꦯꦸꦲꦂê¦ ) (ER, EYD: Suharto) (lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo,
Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di
Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun) adalah Presiden kedua Indonesia
yang menjabat dari tahun 1967 sampai 1998, menggantikan Soekarno. Di dunia
internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan
populer "The Smiling General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal
yang Tersenyum") karena raut mukanya yang selalu tersenyum.
Sebelum menjadi presiden,
Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda,
dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September 1965,
Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin
operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000
jiwa.[2][3]
Soeharto kemudian mengambil alih
kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih
kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun
1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei
tahun tersebut, menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung
DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang terlama yang menjabat sebagai
presiden Indonesia. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih
diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru,
Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan
infrastruktur. Soeharto juga dianggap membatasi kebebasan warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim
paling korupsi dengan jumlah $AS 15 miliar sampai $AS 35 miliar. Usaha untuk
mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita
sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 2008.
Keluarga
Orang tua
Pada 8 Juni 1921, Soeharto
dilahirkan oleh ibunya, bernama Sukirah di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo,
Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun bersalin
bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono.
Dalam otobiografinya Pikiran,
Ucapan dan Tindakan Saya yang disusun G. Dwipayana, Sukirah digambarkan oleh
Soeharto sebagai ibu muda yang sedang sulit memikirkan masalah-masalah rumah
tangga. Namun, banyak catatan di buku-buku sejarah Soeharto lain yang banyak
menyebutkan Sukirah sedang mengalami problem mental yang sangat sulit. Sebelum
Soeharto (yang lahir 8 Juni 1921) berumur 40 hari, Sukirah harus menghadapi
talak cerai suaminya, Kertosudiro.
Kertosudiro, seorang mantri
ulu-ulu (pengatur irigasi) miskin yang kelak sebagai ayah Soeharto, tidak
memainkan peran banyak dalam kehidupan Soeharto. Bahkan, banyak pengamat
Soeharto, seperti R.E. Elson, beberapa biografer dan orang dekatnya, termasuk
Mantan Menteri Penerangan yang dekat dengan Soeharto, Mashuri, meyakini bahwa
Kertosudiro bukanlah ayah kandung Soeharto. Pada tahun 1974, pernah muncul
pemberitaan yang menghebohkan dari majalah gosip bernama ‘POP’ dengan liputan
yang menurunkan kisah lama yang beredar bahwa Soeharto adalah anak dari
Padmodipuro, seorang bangsawan dari trah Hamengkubowono II. Soeharto kecil yang
berumur 6 tahun dibuang ke desa dan diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini kemudian
dibantah keras oleh Soeharto. Dengan separuh murka, Soeharto mengadakan
konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan mengenai asal usul dirinya yang
anak bangsawan bisa saja merupakan tunggangan untuk melakukan subversif.
Soeharto dengan caranya sendiri ingin mengesankan bahwa dia adalah anak desa.
Masa kecil dan pendidikan
Soeharto tidak seperti anak desa
lainnya yang harus bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda, ia
disekolahkan oleh Kertosudiro. Tidak ada berita-berita mengenai masa Soeharto
di Sekolah Rakyat (setingkat SD). Kesan Soeharto di masa SD itu hanya pada
ingatannya tentang kerbau-kerbaunya. Dunia Soeharto hanya berkutat pada
penggembalaan kerbau, jauh dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku
yang kerap dibaca anak-anak SD. Hal ini berbeda misalnya dengan cerita Soekarno
sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa
yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir yang sejak kecil sudah
akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens.
Ketika semakin besar, Soeharto
tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah
ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di
Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes
(Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono, pindah rumah ke Kemusuk
Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa
Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri
tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan
diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian
disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga
mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.
Suatu hari pada tahun 1942,
Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce
Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan
diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan
pangkat sersan karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian
pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.
Karier militer
Pada 1 Juni 1940, ia diterima
sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan
menjalani latihan dasar, ia tamat sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat
kopral. Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, serta
resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Dia bergabung dengan pasukan
kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II berkecamuk pada 1942, ia dikirim
ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di Markas Besar Angkatan Darat selama
seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara KNIL, dia kemudian menjadi komandan
peleton, komandan kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal
sebagai tentara PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan
batalyon berpangkat letnan kolonel.
Setelah Perang Kemerdekaan
berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat
letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan
pemberontakan Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan
APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang
bertugas mengamankan kota dari gangguan eks KNIL/KL.
Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta
dalam serangan umum yangberhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam.
Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada Panglima
Besar Soedirman bahwa Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan
serangan umum di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam untuk
membuktikan bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada.
Pada usia sekitar 32 tahun,
tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen
Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni 1956, ia
diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di
Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan
Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi
kolonel.
Lembaran hitam juga sempat
mewarnai perjalanan kemiliterannya. Ia pernah dipecat oleh Jenderal Nasution
sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut
akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta
uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke
pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani. Atas saran Jenderal Gatot Subroto
saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan
Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus
C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan pangkatnya dinaikkan
menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia diangkat sebagai
Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.
Pada 1 Oktober 1961, jabatan
rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah
diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya sebagai
Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut, ia juga
mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Paris
(Perancis), dan Bonn (Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi
mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan
Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar. Sekembalinya
dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal,
ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun
1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan
Darat (Kostrad) hingga 1965.
Sekitar setahun kemudian,
tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima
Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik
sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Setelah diangkat sebagai Panglima Komando
Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963, ia membentuk Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S
yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober
1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini
memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang
dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI.
Naik ke kekuasaan
Pasca terjadinya Peristiwa G30S,
Mayjen TNI Soeharto mulai masuk ke dalam kabinet. Pada 14 Oktober 1965, ia
ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk menjabat sebagai Menteri Panglima
Angkatan Darat.
Pada pagi hari 1 Oktober 1965,
beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel
Untung Syamsuri bersama pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jenderal.
Pada peristiwa itu Jenderal A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri
Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos.
Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah
Mayor Jenderal Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan apakah Soeharto ini
terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa
sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa
mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang
direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada
"Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal
sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi
oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi
sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen
Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya.
Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa
bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang
menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah
yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden
Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil
segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Keputusan yang
diambil Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI)
sekalipun sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang
diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat
internasional dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata
Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan
Udara Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima
Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro-Soekarno dan
Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif.
Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan
penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan
pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu "tersangka komunis",
kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia.
Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat
Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar
"operasi komunis" Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama
kepada militer Indonesia. Been Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di
Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: "Itu merupakan suatu pertolongan besar
bagi Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya
kemungkinan memiliki banyak darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada
saatnya di mana anda harus memukul keras pada saat yang tepat." Howard
Fenderspiel, ahli Indonesia di State Department's Bureau of Intelligence and
Research di 1965: "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis,
bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri
konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka membebaskan sumber daya di militer.
Setelah dilantik sebagai Menteri
Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965, ia segera membubarkan PKI dan
ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966, dia menerima Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yaitu Basuki
Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf. Isi Supersemar adalah memberikan kekuasaan
kepada Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar
Revolusi agar mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan,
ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.
Sehari kemudian, 12 Maret 1966, Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan
sebagai partai terlarang di Indonesia.
Karena situasi politik yang
memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967,
Soeharto yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat
pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No
XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967,
Soeharto kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden
Soekarno. Melalui Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk
sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan
umum.
Jenderal Soeharto ditetapkan
sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden
Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai
hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain
sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri
Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama. Mulai saat ini dikenal istilah Orde
Baru. Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet
Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima Tahun" I. Pada 15 Juni 1968,
Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden yang terdiri atas Prof Dr
Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali Wardhana, Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro
Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto, Dr Emil Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius
Prawiro.
Pada 3 Juli 1971, presiden
mengangkat 100 anggota DPR dari Angkatan Bersenjata dan memberikan 9 kursi
wakil Provinsi Irian Barat untuk wakil dari Golkar. Setelah menggabungkan
kekuatan-kekuatan partai politik, Soeharto dipilih kembali menjadi presiden
oleh Sidang Umum MPR (Tap MPR No IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk jabatan
yang kedua kali. Saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai
wakil presiden.
Pada usia 55 tahun, Soeharto
memasuki masa pensiun dari dinas militer (Keprres No 58/ABRI/1974). Pencapaian
puncak di dunia politik turut melengkapi kisahnya hidupnya sebagai seorang
penguasa. Setelah mencapai posisi pucuk di republik, geliat kekuasaanya mulai
metampakkan taringnya. Pada 20 Januari 1978, Presiden Soeharto melarang terbit
tujuh surat kabar, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian
Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore. Beberapa di antaranya kemudian meminta maaf
kepada Soeharto.
Pada 22 Maret 1978, Soeharto
dilantik kembali presiden untuk periode ketiga kalinya dan Adam Malik sebagai
wakil presiden. Sidang Umum MPR 1 Maret 1983 memutuskan memilih kembali
Soeharto sebagai presiden dan Umar Wirahadikusumah sebagai wakil presiden. Melalui
Tap MPR No V tahun 1983, MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak Pembangunan
Republik Indonesia. Pada 16 Maret 1983, Presiden Soeharto mengumumkan susunan
Kabinet Pembangunan IV yang terdiri atas 21 menteri, tiga menteri koordinator,
delapan menteri muda, dan tiga pejabat setingkat menteri. Pada 1 Januari 1984,
Presiden Soeharto mengisi formulir keanggotaan Golkar dan sejak itu ia resmi
menjadi anggota Golkar.
Beberapa pengamat politik baik
dalam negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen
dari komunis, menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga
memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok dan menjalin
hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam semua keputusan
politik.
Jenderal Soeharto dikatakan
meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen: Komando Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional
(Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih
dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak
komunis, tersangka komunis dan yang disebut "musuh negara" dihukum
mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka
komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak
nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang
tidak dibicarakan ini dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto
tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir
1990-an. Karena kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar,
Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat dan begitu juga
pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi
Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times
mengatakan bahwa Soeharto adalah "orang seperti kita" atau
"orang golongan kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto
diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Setahun
kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat sebagai Presiden untuk masa
jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara langsung menunjuk 20% anggota MPR.
Partai Golkar menjadi partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh
pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar
amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun kemudian meminta nasihat dari
tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak dikenal sebagai "mafia
Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan
inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta
mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan mereka
tidak bisa dimungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai asisten finansial besar
artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang sosial politik,
Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai asisten untuk
masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan melemahkan kekuatan
partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem kepartaian.
Sebagai presiden
Dalam bukunya, Soeharto;
Political Biography, Robert Edward Elson menulis, “Soeharto adalah tokoh yang
amat penting selama abad XX di Asia.” Dua Presiden Amerika Serikat, Richard
Nixon dan Ronald Reagan juga memuji gebrakan Soeharto. Tetapi, Soeharto
mengklaim dirinya anak petani dengan nilai-nilai biasa yang tidak berambisi
menguasai negeri Indonesia dan mendahului kepentingan bangsa. “Saya di rumah,
di antara istri dan anak-anak merasa sebagai seorang biasa, hanya secara
kebetulan diberi kepecayaan oleh rakyat untuk memimpin negara ini sebagai
presiden,” tutur Soeharto dalam suatu temu wicara pada Peringatan Hari Ibu
ke-67 di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 22 Desember
1989.
Sebab itu, pada 14 September
1991, Presiden Soeharto menolak permintaan Amerika Serikat untuk memperoleh
pangkalan militer di Indonesia setelah pindah dari Filipina. Soeharto dipilih
oleh MPR sebagai presiden untuk yang keenam kalinya pada 10 Maret 1993. Kali
ini, Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Setelah enam kali berturut-turut
ditetapkan MPR sebagai presiden, Soeharto mulai menyatakan jika dirinya tidak
berambisi menjadi presiden seumur hidup (12 Maret 1994). Pada kepemimpinannya
periode ini, Presiden Soeharto memberhentikan Prof Dr Satrio Budiharjo Joedono
selaku Menteri Perdagangan sebelum akhir masa jabatan (6 Desember 1995).
Soeharto yang mengawali
kekuasaannya sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 dan menjadi presiden
pada 27 Maret 1968 terus menggenggam jabatan itu selama 31 tahun. Semula ada
yang memperkirakan bahwa Soeharto akan menolak pencalonannya kembali sebagai presiden
untuk periode yang keenam pada tahun 1998 setelah istrinya meninggal dunia pada
28 April 1996. Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika usianya mencapai 75 tahun,
ia bukan saja bersedia untuk dicalonkan kembali tetapi menerima untuk diangkat
kembali sebagai presiden untuk periode 1998-2003. Ia menerima penganugerahan
Bintang Lima atau Pangkat Jenderal Besar saat berusia 76 tahun (29 September
1997).
Pada 25 Juli 1996, Presiden
Soeharto menerima PDI pimpinan Soerjadi dan menolak kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
untuk memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua hari kemudian terjadi
peristiwa 27 Juli berdarah.
Puncak Orde Baru
Pada masa pemerintahannya,
Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan
pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya
bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis.
Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika
Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di
dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan
Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan
keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan
IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI
dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan
dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili.
Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis.
Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang
berada di bawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan
manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke
bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir
kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan
(EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor
Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat
Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu
ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian
kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga
Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri
Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik
Tiongkok, dan Korea Selatan.
Beberapa catatan atas tindakan
represif Orde Baru
Presiden Soeharto dinilai memulai
penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis
di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan
simpati mereka terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto terlibat
persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri
Singapura yang beretnis Tionghoa.
Kejatuhan Presiden Soeharto
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20
sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama
bertahun-tahun. Krisis finansial Asia pada tahun yang sama tidak membawa hal
bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta
pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Meskipun sempat menyatakan untuk
tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003, terutama pada
acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh
parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi,
kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung
DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk
menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia.
Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B. J. Habibie.
Dalam pemerintahannya yang
berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan
termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor
berakhirnya era Soeharto. Namun, Michel Camdesus, Direktur IMF mengakui bahwa
apa yang dilakukan IMF di Indonesia tidak lain sebagai katalisator jatuhnya
Pemerintahan Soeharto. Sebagaimana dikutip New York Times, Camdesus menyatakan
“we created the conditions that obliged President Soeharto Left his job".
Di Credentials Room, Istana
Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden Soeharto membacakan
pidato yang terakhir kali, demikian:
“ Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan
cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk
mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas
dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong
oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan
konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan
kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan
rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan
VII. Namun, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut
tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap
rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk
melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa
dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan
Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di
atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas
pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh
memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di
dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai
Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei
1998.
Kematian
Pada Tanggal 27 Januari 2008 Pukul
13.10 WIB, Soeharto meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta.
Kemudian sekitar pukul 14.35, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan
dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta[12].
Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga
dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika
iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan
seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan
Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang
membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan
Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang
tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan
mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta,
Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya
mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB,
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu
melayat ke Cendana.
Pemakaman
Jenazah mantan presiden Soeharto
diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari
2008, pukul 07.30 WIB[13] menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Selanjutnya
jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00
WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, Senin (28/1).
Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum
diturunkan ke liang lahad pada pukul 12.15 WIB[14] bersamaan dengan
berkumandangnya azan zuhur. Almarhum sudah berada di liang lahat siang itu
pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh inspektur
upacara Susilo Bambang Yudhoyono.
0 comments:
Post a Comment